Pertama, kuasa dapat mendatangkan harta. Dengan kuasa, manusia bisa menumpuk kekayaan. Tidak demikian sebaliknya. Diakui, untuk mencapai kuasa, manusia butuh harta, tetapi tidak setiap orang yang telah menghabiskan begitu banyak harta, dengan sendirinya ia mencapai tahta.
Kedua, kuasa menimbulkan efek popularitas yang luar biasa. Begitu seorang dinobatkan sebagai pejabat, demikian Ghazali, maka seketika itu ia akan menjadi masyhur di seluruh pelosok negeri. Dalam dunia modern, popularitas itu akan bertambah besar bila ia mampu memanfaatkan dukungan media massa.
Ketiga, pengaruh kuasa relatif lebih dalam dan tahan lama. Pada sebagian orang, pengaruh kuasa menimbulkan loyalitas yang sangat tinggi, bahkan kesetiaan sampai mati. Tidak demikian dengan pengaruh harta.
Kuasa sebagai sesuatu yang secara alamiah digandrungi manusia, tentu bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama. Setiap orang, demikian Ghazali, boleh mendapatkannya, asalkan dengan cara yang baik (halal) dan dipergunakan untuk kebaikan pula. Dalam hal ini, ada dua hal menurut Ghazali yang perlu diperhatikan.
Pertama, kita tak boleh mencapai tahta dengan cara-cara yang tidak halal, seperti menipu, berbuat curang atau menunjukkan kualitas agama dengan berpura-pura menjadi orang shaleh. Perbuatan yang terakhir ini dinilai Ghazali sebagai kejahatan besar (jarimah) terhadap agama.
Kedua, setelah mencapai kuasa, orang diminta agar bekerja keras dan menggunakan kuasa yang dimiliki untuk kesejahteraan rakyat. Di sini berlaku kaidah tasharruf al-imam manuth bi al-mashlahat (sepak terjang seorang imam harus relevan dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat).
Demi kesejahteraan rakyat, ia dituntut agar berbuat jujur dan adil, serta amanah. Inilah makna firman Allah, ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.'' (QS An-Nisa [4]: 58). Wallahu a'lam.