Pages

22 Agu 2009

Cinta Adalah Cinta

Tentang Bim
"Kamu dapat salam dari Ririn."
"Salam balik deh untuk dia."
"Lho...?"
"Kenapa?"
"Dia baik banget sama kamu. Merhatiin kamu."
"Dia emang baik, kok."
"Lho...?"
"Kenapa? Dari tadi lha-lho-lha-lho mulu."
"Saya heran sama kamu. Padahal dia...."
"Dia emang gitu. Sama semua...."
"Eit! Jangan bilang kalo Ririn baik sama semua orang."
"Lalu...?"
"Just for you. "
"Ciee... romantis banget.
"Jangan belagak ogeb-ogebin diri gitu, deh."
"Siapa yang belagak ogebin diri?!"
"Siapa lagi?!"
"Saya?"
"Ngerasa juga ternyata, ya?"
"Hehehe."
"Bim, cuman orang gokil yang nggak tau kalo dirinya tuh dikejer-kejer ampe tiga taon. Dia cinta mati ama kamu!"
"Terlalu pagi rasanya Engkau mengungkapkan cinta."
"Weeek!"
"Hihihi."
"Kamu kenapa, sih?! Dia kan, nggak jelek!"
"Siapa yang bilang Ririn jelek?"
"Lalu...."

"Apa kalo dia cantik berarti semua cowok termasuk Daku harus mencintainya?"
"Bodoh ah!"
"Hihihi."
"Kasihan Ririn."
"Kenapa? Ada cowok yang usilin dia? Entar gue tabokin."
"Tabok ndiri jidat lu!"
"Hehehe."
Saya nggak tau gimana jalan pikiran anak cengengesan ini. Dan saya nggak pernah dapetin orang yang maha cuek-bebek kayak dia. Ati-nya dari batu!
"Ririn...."
Nggak ada tanggepan. Cowok itu beku kayak es. Saya kasihan melihat Ririn yang terlalu mengharap. Padahal, kalo mau, Ririn dapet ngegaet seribu Bim-Bim yang lebih kinclong! Tapi itulah. Itulah cinta yang kadang-kadang nggak ngenal logika.
"Tiga taon...."
Gibasan tangannya bikin darah saya mengubun. Tiga taon bukan waktu yang dikit untuk sepotong penantian yang nggak berujung sama sekali. Ririn emang cewek bodoh. Bim jelek kayak kingkong. Untuk apa dia nunggu?! Untuk apa....
"Kenapa, Bim?!"
Cowok itu angkat bahu. Ya amplop! Rasa-rasanya saya pengen mendaratkan tamparan saya ke pipinya yang berjerawat batu itu.
***
Tentang Ririn
"Maafin saya ya, Rin?"
"Hei, ada apa ini?"
Dahinya mengerut. Tapi senyumnya mengembang tulus. "Perasaan, kamu nggak punya salah apa-apa sama saya kecuali ngutang bakso semangkok taon lalu."
Saya tertawa mendengar gurauannya. Saya nggak ngerti, gimana cewek secakep Ririn ini mau banget ama si Jelek Item Bim itu.
"Bim...."
Ririn ngibasin tangannya. "Bim emang gitu. Jangan dipikirin, deh."
"Jangan gimana kalo kamu nampik semua cowok yang ngedeketin kamu."
"Saya cuman suka dia."
"Tapi dia belum tentu suka kamu!"
"Saya harus bersabar...."
"Sampai kapan?!" Saya mendengus. "Percuma kalo yang kamu kejar itu patung batu!"
Ririn terkikik. Pufh! Padahal saya sedang marah. Ah, rupanya Ririn pandai menyimpan dan nutupin perasaannya. Saya yakin hatinya hancur. Ah, saya menyesal memperkenalkan Ririn pada Bim tiga taon yang lalu. Saya merasa berdosa sama Ririn. Kalo aja saya nggak ngenalin dia sama si Setan Jelek itu, tentu nggak gini kejadiannya. Mungkin aja sekarang Ririn udah punya bokin yang jauh lebih oke.
Tapi sekarang?!
Huh, mau nggak mau saya harus campur tangan. Soalnya saya punya tanggung jawab moral terhadap sepupu saya Ririn itu. Saya nggak mau lihat ada orang lain yang nyakitin dia!
"Kamu nggak bisa ngelupain dia?"
Dia menggeleng.
"Saya yang salah. Seharusnya saya nggak ngenalin kamu ke dia."
"Ngaco kamu. Kamu salah apa?"
"Tapi...."
Ririn nepuk pundak saya. Dia sama sekali nggak sedih.
"Udah deh, Vin. Saya ngerti. Kamu nggak enak ati sama saya.
"Tapi...."
"Kalo Bim nggak suka sama saya atau apalah namanya, itu bukan salah kamu."
"Tapi...."
"Kalo seumpama kamu nggak ngenalin saya ke Bim, saya yakin kami akan tetap bertemu juga."
"Bim nggak tau diri...."
Ririn menggeleng. "Nggak gitu, Vin. Jangan salahin Bim. Dia nggak salah kalo nggak suka sama saya."
"Tapi...."
"Justru saya mesti bersyukur karena dengan begitu maka saya bisa melihat di mana letak kekurangan saya. Saya bisa introspeksi." Ririn masih setenang air telaga.
"Tapi, kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini, Rin. Banyak cowok yang jauh lebih baik dari dia!"
Dia mengangguk. "Tentu aja. Tapi...."
"Tapi apa?!" Saya tatap tajam kedua bola matanya yang bulat seperti kelereng. "Apa kamu mau nunggu dia sampai kamu jadi nenek-nenek?!"
Ririn terkikik. "Ya, tentu aja nggak."
"Lalu?!"
Dia angkat bahu. "Ya nggak tahu-lah, Vin. Cuman, saya nggak mau cepat menyerah. Kalo soal sejodoh atau nggak, itu urusan Yang di Atas Sana."
Saya turut angkat bahu.
Mungkin. Mungkin Ririn benar. Saya hanyalah seorang Vince. Cewek biasa. Manusia biasa. Apa tau saya soal jodoh?!
Bukankah itu urusan Tuhan?! ©






0 komentar: