Pages

21 Mei 2009

Dimana Letak Kebahagiaan

DI MANA LETAK KEBAHAGIAN????
Semua orang mendambakan kebahagiaan, mulai dari seorang filosof dengan
pemikirannya yang tinggi sampai orang bodoh dengan kesederhanaannya. Sang
Raja di istananya maupun petani di gubuknya, sama-sama tidak menghendaki
kecemasan dan kegelisahan. Yang menjadi pertanyaan sejak dulu sampai
sekarang adalah 'di manakah' kebahagiaan itu?
Kebanyakan manusia mencarinya bukan pada sumbernya sehingga mereka pulang
dengan tangan hampa, lelah sedih dan putus asa. Dalam berbagai zaman
manusia telah mencoba mencari kebahagiaan itu pada kekayaan materi dan
berbagai ragam pemenuhan kebutuhan inderanya, tetapi ternyata tidak
ditemukan juga sebab setiap kali terpenuhi satu kebutuhan akan selalu
muncul kebutuhan baru.
HARTA. Sebagian manusia menduga bahwa kebahagiaan itu pada kekayaan harta
dan terpenuhinya kesejahteraan hidup. Nyatanya di negara-negara yang maju
ekonominya dan dapat memenuhi sarana kehidupan mulai dari makanan,
minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan fasilitas-fasilitas
lainnya, rakyatnya tetap tidak bahagia dan mencari kebahagiaan dengan cara
lain.
Dalam sebuah survey di Amerika, terungkap bahwa harta merupakan penyebab
terjadinya kejahatan-kejahatan utama di negara super-power ini. Penyebab
lain adalah kebencian, kecemburuan, dan seks. Survey yang dilakukan oleh
suatu tim terhadap sejumlah orang Amerika dari berbagai profesi ini
merupakan fenomena yang ada di negara maju, yang mungkin bukan hanya di
Amerika.
Will Durant berpendapat: "Agama tidak dapat tumbuh subur pada saat di mana
kemajuan material membumbung tinggi. Karena, ketika itu manusia biasanya
membebaskan dirinya dari ikatan-ikatan keruhanian bahkan menciptakan
falsafah dan pandangan hidup yang dijadikan dalih untuk menanggalkan
tuntunan-tuntunan agama." Pendapat pakar yang berasal dari Barat dan hidup
di Barat ini sesuai dengan gambaran al-Qurصan bahwa manusia yang
dikendalikan oleh nafsu atau dikuasai oleh bayangan kemampuan material
yang dimilikinya, akan bersikap sangat angkuh dan berlaku sewenang-wenang.
Mereka menduga bahwa kemampuannya akan mengekalkannya dan akhirnya mereka
berpaling membelakangi Tuhannya.
Kini semakin disadari bahwa segala keserakahan manusia untuk menumpuk
harta merupakan sebab timbulnya superioritas (rasa keunggulan) seseorang
kepada yang lain. Dan sampai sekarang masih merupakan sebab timbulnya
penderitaan dunia, seperti dibuktikan dari hasil survey di Amerika itu.
Kenyataan mengerikan yang lain dapat kita lihat di negara-negara maju,
negeri yang hidup dalam kecukupan ekonomi luar biasa. Saking makmurnya
sampai-sampai tidak ada kekhawatiran akan kemelaratan walaupun bagi
orang-orang tua atau pengangguran sekalipun, karena negara telah menjamin
setiap warga negaranya dengan jumlah yang cukup.
Namun demikian masyarakatnya hidup penuh keangkuhan, kebencian, gelisah,
cemas, sedih, penuh keluhan dan keputusasaan. Akhirnya banyak yang lari
dari kehidupan malang ini dengan cara bunuh diri dan cara lain sebagai
upaya menyelamatkan diri dari penderitaan jiwa yang menyakitkan itu.
Jelaslah bahwa banyaknya harta bukanlah sumber kebahagiaan dan bukan pula
asas utama untuk mewujudkannya. Bahkan boleh jadi hal itu menjadi
malapetaka bagi pemiliknya di dunia sebelum menjadi malapetaka di akhirat
kelak. Kebahagiaan tidak bisa diukur dengan penambahan kekayaan harta,
tetapi kebebasan dari rasa takut terhadap penderitaan dan kecemasan lahir
batin.
Ini tentu bukan berarti Islam melarang manusia untuk mendapatkan harta dan
menilai harta benda sebagai sesuatu yang jelek dan harus dihindari. Yang
dikecam adalah perlombaan penumpukannya guna berbangga, berfoya-foya dan
mengabaikan kelompok yang membutuhkannya. Allah berfirman dalam surat At
Taubah: 55, "Janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu.
Sesungguhnya Allah menghendaki dengan harta benda dan anak-anak itu untuk
menyiksa mereka dalam kehidupan dunia."
Siksaan itu bisa berupa kesulitan, kepayahan, kesusahan, dan penderitaan.
Kenyataan pahit ini bisa kita jumpai pada setiap orang yang menjadikan
harta dunia ini sebagai tujuan utamanya dan puncak cita-citanya. Ia akan
selalu tersiksa hatinya, dan lelah jiwanya. Sedikitnya harta tidak akan
mencukupinya, tetapi harta yang banyak juga tidak akan mengenyangkannya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas, Nabi melukiskan jiwa yang
menderita ini, "Barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai cita-citanya,
maka Allah akan menjadikan kekayaan di hatinya dan harta benda akan datang
kepadanya serta tunduk kepadanya. Dan barangsiapa yang menjadikan harta
dunia sebagai cita-citanya, maka Allah akan menjadikan kefakiran di kedua
matanya dan mencerai-beraikan semuanya dan tidak akan memberinya harta
dunia selain apa-apa yang telah ditentukannya." (HR Turmudzi)
Ulama salaf pernah menyampaikan, barangsiapa mencintai dunia, maka
dipersilakan mempersiapkan dirinya untuk menanggung musibah. Karena
pecinta harta tidak akan terlepas dari tiga hal; susah berkepanjangan,
lelah berkesinambungan, dan penyesalan tiada akhir. Demikian itu karena
setiap kali terpenuhi satu keinginan timbul keinginan baru, sebagaimana
disampaikan Rasulullah, "Seandainya anak manusia itu memiliki dua lembah
emas tentu ia akan menginginkan yang ketiga."
ANAK DAN JABATAN.Setiap orang tua mencintai anak-anaknya. Tak satupun
orangtua yang tidak menginginkan anak-anaknya hidup sukses kelak di
kemudian hari. Sebab sebagian orang merasa anak bisa menghadirkan
kebahagiaan dalam hidupnya.
Memang anak merupakan bunga kehidupan tumpuan harapan, akan tetapi tidak
sedikit anak-anak itu menyeret orang tuanya ke jurang kehancuran. Mereka
bisa saja menyakiti dan mengingkarinya sebagai ganti kebaikan orang
tuanya. Bahkan tidak sedikit orang tua yang menemui ajal di tangan anak
kandungnya.
Demikian halnya dengan jabatan. Manusia yang salah selalu mengejar jabatan
dengan berbagai upaya, kalau perlu menghalalkan segala cara. Tidak sedikit
orang yang demi mendapatkan jabatan berani melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan etika dan jalan agama. Bagi mereka kedudukan di atas
segala-galanya. Ternyata setelah didapatkannya tidak pula dirasakan
kebahagiaan dalam dirinya. Itulah sebabnya Islam melarang seseorang untuk
berambisi atas sesuatu jabatan, karena jika jabatan dipegang oleh orang
yang berambisi untuk mendudukinya, yang didapat hanyalah malapetaka.
DALAM DIRI MANUSIA. Kebahagiaan tidak terletak pada banyaknya harta
kekayaan dan banyaknya anak, tidak pula pada jabatan dan materi lainnya.
Kebahagiaan adalah suatu nilai yang abstrak kasat mata, tidak dapat diukur
dengan jumlah, tidak dapat disimpan di suatu tempat dan juga tidak dapat
dibeli dengan rupiah, dollar maupun dinar.
Kebahagiaan adalah suatu yang dapat dirasakan oleh kejernihan jiwa,
ketenangan hati, kelapangan dada, yang bersumber dari dalam diri manusia
dan tidak didatangkan dari luar dirinya.
Dalam suatu kisah disebutkan, seorang suami yang sedang marah terhadap
istrinya berkata seraya mengancam, "Aku akan membuatmu tidak bahagia!"
Dengan tenang istrinya menjawab, "Engkau tidak akan mampu membuatku
menderita sebagaimana engkau tidak dapat membuatku bahagia." Sang suami
semakin marah, "Kenapa tidak bisa?" Sahut istrinya penuh keyakinan, "Aku
mendapatkan kebahagiaan pada imanku. Iman ada di hatiku dan tidak
seorangpun dapat menguasai hatiku selain Allah swt pelindungku."
Itulah hakikat kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang tidak dapat diberikan
oleh manusia dan tidak dapat dicabut oleh siapapun juga, adalah
kebahagiaan yang dirasakan oleh orang-orang beriman dan mereka yang suka
beramal shalih. Seorang mukmin yang telah merasakan kelezatan ruhaniah
yang memenuhi sisi-sisi jiwanya akan berkata, "Sungguh kudapatkan
saat-saat bahagia yang membuatku berkata, 'Seandainya penghuni surga
merasakan seperti yang aku rasakan sekarang sungguh mereka benar-benar
hidup bahagia.'"
Orang-orang yang telah dianugerahi nikmat kebahagiaan oleh Allah swt akan
menganggap kecil musibah yang menimpa dirinya betapapun besar dan
beratnya. Karena musibah itu akan dirasakan sebagai nikmat yang perlu
disyukuri, sementara menurut orang lain merupakan malapetaka yang
mengakibatkan keluhan dan penderitaan.
Rasulullah memberikan contoh yang sangat indah tentang suatu kebahagiaan.
"Jika Anda melahap suatu makanan, maka Anda merasakan kelezatan. Tetapi,
jika Anda dengan suka-cita menyerahkan (walaupun sebagian)-nya, maka Anda
merasakan kebahagiaan.".

Dikirim oleh : Ahmarun Nisa''